JAKARTA,iDoPress - Judi online yang sudah merajalela di Tanah Air dibuktikan dengan data dari Pusat Pelaporan dan Analisis Keuangan (PPATK) yang mengungkap bahwa ada 3,29 juta masyarakat bermain judi online hanya pada tahun 2023,dengan total deposit menembus Rp 34,5 miliar.
Ditambah lagi,Menteri Koordinator Bidang Politik,Hukum,dan Keamanan (Menko Polhukam) Hadi Tjahjanto mengungkap bahwa nilai transaksi judi online tembus Rp 100 triliun hanya pada kuartal I tahun 2024.
Di sisi lain,daya rusak judi online juga semakin dirasakan di masyarakat. Sejumlah pemain bahkan sampai memutuskan untuk mengakhiri hidupnya karena terlilit utang akibat terlena dengan kesenangan yang akhirnya berubah menjadi kecanduan.
Baca juga: Ironi Penanganan Judi Online di Indonesia: Bukan Barang Baru,tapi Tak Juga Terselesaikan
Bahkan,aparat penegak hukum yang sejatinya menjadi garda terdepan dalam memberantas judi online ikut terbuai dengan kesenangan yang dijanjikan dari kegiatan ilegal tersebut.
Seperti terjadi dalam kasus seorang Polisi wanita (Polwan) berinisial FN (28) di Mojokerto,Jawa Timur,yang membakar suaminya yang juga anggota Kepolisian Briptu RDW (28) pada 8 Juni 2024.
FN tega membakar suaminya sendiri setelah mengetahui rekening bank milik suami yang berisi gaji ke-13 senilai Rp 2.800.000 berkurang menjadi Rp 800.000 karena digunakan untuk berjudi.
Sempat dilarikan ke rumah sakit,Briptu RDW tetap tidak terselamatkan. Kasus ini tengah ditangani oleh Polda Jawa Timur (Jatim).
Lantas di mana celah yang membuat judi online semakin masif dan merusak di masyarakat?
Baca juga: Perang Bersama Melawan Judi Online
Pakar psikologi forensik sekaligus kriminolog,Reza Indragiri Amriel menyoroti soal kata “korban” yang digunakan serampangan dalam konteks penanganan judi online dikaitkan dengan wacana pemberian bantuan sosial (bansos ) oleh pemerintah.
Dia menegaskan bahwa kata “korban” yang belakangan disematkan oleh Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy tidak cocok digunakan karena mereka sesungguhnya adalah pelaku yang aktif bermain judi.
Apalagi,menurut dia,jelas bahwa hukum memandang judi atau aktivitas perjudian adalah masalah pidana. Sehingga tidak tepat menggunakan kata “korban”.
"Narasi Menko PMK merupakan potret victimhood culture. Yakni,ketika pelaku pelanggaran hukum dan mereka yang hidup berkecukupan pun digeser posisinya seolah mereka adalah pihak yang harus dikasihani dan diberikan simpati,” ujar Reza melalui pesan singkat kepada Kompas.com,Selasa (19/6/2024) malam.
Baca juga: Perang Terhadap Judi Online,Polisi Siber Perlu Diefektifkan dan Jangan Hanya Musiman
Kemudian,menggunakan kata “korban”,Reza menyoroti bahwa para pelaku judi online tersebut bisa jadi benar adalah korban. Tetapi,korban dari gagalnya program kesejahteraan sosial yang dilakukan pemerintah.
"Tapi perlu diluruskan,apakah mereka yang melakukan aktivitas judi memang layak disebut sebagai korban judi online atau justru korban gagalnya kebijakan kesejahteraan yang kemudian menjadikan judi online sebagai jalan keluar yang salah atas kemiskinan yang disebabkan oleh kegagalan pemerintah itu,” katanya.
Sebagaimana diketahui,PPATK menemukan 156 juta transaksi senilai Rp 190 triliun sepanjang 2017-2022. Sehingga,diperkirakan ada sekitar 2,7 juta orang bermain judi online.